AKSARANEWS.NET, ADONARA – Perubahan iklim adalah ancaman serius di depan mata yang dihadapi bumi dan segala kehidupan di dalamnya. Mesti ada upaya merawat ibu bumi. Salah satunya melalui praktik pengembangan pertanian selaras alam.
Hal ini menjadi bahasan sejumlah anak muda Desa Pajinian dan Desa Riangpadu, juga beberapa petani dalam program Sekolah Agro Sorgum Flores, di Waiotan, Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, NTT.
Kegiatan bertajuk “Praktik Pertanian Cerdas Iklim Selaras Alam dan Ekologis untuk Ketahanan Pangan Komunitas” itu digelar pada Senin. (11/12).

Pimpinan Yayasan Agro Sorgum Flores (Yasores), Maria Loretha mengatakan di tengah iklim dan situasi alam yang terus berubah, curah hujan yang tinggi, kemarau berkepanjangan, sistem pertanian juga harus berubah.
“Sistem pertanian kita harus kembali seperti nenek moyang kita. Harus menerapkan cara seminimal mungkin menggunakan sistem pertanian yang rendah suport dari luar, dan ramah lingkungan,” kata dia.
“Misalnya, tidak menggunakan pupuk kimia, tetapi membuat pupuk sendiri. Jerami tidak dibakar, tetapi dengan cara selaras alam yaitu dibenamkan ke tanah.”
“Batang jagung, atau sorgum kita bentangkan. Dalam tempo sebulan sudah lapuk. Ini untuk memperbaiki ekosistem, dan mengembalikan hak tanah yang telah menumbuhkan tanaman,” tandasnya.
Lebih lanjut, Maria Loretha mengatakan Sekolah Agro Sorgum Flores ini dibuka untuk anak muda dan para petani dengan berbagai macam kegiatan. Tidak melulu tentang tanam-menanam.
“Sekolah ini tidak membatasi usia dan tingkat pendidikan, semua bisa bergabung. Seperti apa kelanjutanya, kita mengalir seperti air sungai,” imbuh dia.
“Kita juga ingin terus memperkenalkan sorgum kepada masyarakat, khususnya bagi kaum muda. Supaya lebih mencintai pangan lokal, dan bangga dengan apa yang ada di kampung. Makan apa yang tumbuh di kampung kita,” ungkap Maria Loretha.
Sementara Pater Aloysius Wuring Lagamaking, SVD, yang hadir sebagai narasumber, dalam pemaparannya mula-mula merujuk kitab Kejadian 1:2-31 dan 2:17-19, dan ensiklik Paus Fransiskus yang dikeluarkan tahun 2015 tentang lingkungan yang berjudul “Ladato Si.”
“Manusia harus selalu berada dalam harmoni dengan Tuhan. Karena itu para Pastor selalu bilang, jangan lupa dengan agama. Manusia juga harus harmoni dengan sesama dan alam semesta,” terangnya.
Pater Aloysius mengatakan, ekologi telah dipilih menjadi tema APP (Tahun 2023) oleh Gereja Lokal Keuskupan Larantuka. “Maka, ketika manusia memelihara bumi, manusia telah melestarikan kehidupan.”
“Kehidupan manusia yang ekologis selalu sadar bahwa keberadaan dirinya dapat bermakna apabila manusia ada bersama alam ciptaan dan makluk yang lain,” tambah Direktur Produksi PT Rero Lara Hokeng itu.
Tekait praktik pertanian selaras alam, Pater Aloysius memberikan salah satu contoh perbandingan kondisi kampung Likotuden di Desa Kawalalelo sekarang ini dengan yang dulu sebelum dipenuhi tanaman sorgum.
“Saya baru masuk Likotuden beberapa waktu lalu saat musim panas. Panas sekali. Tapi saya melihat Likotuden ini beda dengan 30, 40 tahun yang lalu. Tempat yang gersang menjadi hijau karena daun-daun sorgum,” ungkapnya.
“Saya bilang kepada teman-teman, ini yang namanya menata lingkungan hidup dari gersang menjadi hijau. Dan tanpa kita sadari perubahan iklim seperti ini sangat membantu kehidupan manusia,” sambung Pater Aloysius.
Selanjutnya, dia menjelaskan upaya praktis dan sederhana menuju manusia yang lestari melalui sistem dan pola kerja petani dengan mengatur waktu kerja.
Menurutnya, jam kerja yang efisien dan efektif misalnya 7 sampai 8 jam per hari, maka petani harus mulai bekerja dari pukul 05.30 – 10.00. Dan kembali bekerja lagi pada pukul 14.40 -17.30.
“Maka petani ideal dan milenial bekerja di ladang selama 7,5 Jam. 4,5 Jam di siang hari yang panas diisi dengan pekerjaan lain untuk pemeliharaan ternak, dan lain-lain,” urai Pater Aloysius.
Selain pola kerja, ia mengatakan perlu adanya identifikasi jenis tanaman, dan kesesuaian ketinggian tempat, serta mengetahui tanaman yang ramah lingkungan dan yang tidak ramah lingkungan.

Guna mempertajam materi yang disajikan, peserta kegiatan kemudian dibentuk dalam dua kelompok diskusi. Dan selanjutnya dipresentasikan oleh masing-masing kelompok.
Dalam diskusi mereka ditugaskan mengidentifikasi tanaman umur pendek, tanaman umur panjang, dan tanaman tidak ramah lingkungan, termasuk dampak tanaman terhadap lingkungan, alam, dan manusia.
Tampak para peserta sangat antusias dalam mengikuti kegiatan yang berlangsung selama kurang lebih 4 jam. Tak sadar, matahari perlahan-lahan telah dijemput senja untuk kembali ke peraduannya. (Tino Watowuan).