ADONARA, AKSARANEWS. NET –Sejumlah anak muda Kabupaten Flores Timur (Flotim) dan Kabupaten Lembata, NTT yang tergabung dalam Koalisi Pangan BAIK mengikuti pelatihan pertanian cerdas iklim, pada Selasa (20/5/2025).
Kegiatan yang mempertemukan para petani muda dan perempuan desa Pajinian, desa Kawalelo, kabupaten Flores Timur, desa Hoelea II, dan desa Tapobali, kabupaten Lembata ini berlangsung di Waiotan Farm, desa Pajinian, kecamatan Adonara Barat, Flores Timur.
Fransiskus Alexander Weleng, Fasilitator Yayasan Agro Sorgum Flores (Yasores) mendapatkan kesempatan pertama menyajikan materi tentang perubahan iklim dan sistem pangan lokal.

Dalam pemaparannya, Weleng menjelaskan perubahan iklim benar-benar berdampak pada produktifitas pertanian, terutama pada petani-petani kecil.
“Hal ini disebabkan oleh ulah manausia. Karena bertambanya populasi manusia yang memaksa kita untuk mengeksploitasi sumber daya alam dalam memenuhi kebutuhan, sekaligus keinginan,” ujar dia.
Weleng melanjutkan, “kita hanya punya dua pilihan, antara kita harus terjebak dan menunda bertindak ataukah kita memilih untuk bertindak saat ini juga.”
Ada tiga solusi untuk menghadapi perubahan iklim, kata mantan staf ahli CV. Berkat Usaha yang bergerak di bidang penangkar benih dan bibit pertanian itu yakni adaptasi, mitigasi, dan transformasi.
“Kita harus kembali menanam beni lokal sesuai dengan karakteristik tanah. Kita perlu adaptasi, sembari mempertahankan dan belajar dari kearifal lokal di tempat kita masing-masing. Kita juga butuh mitigasi, yakni pelestarian hutan, pertanian tepat guna, pengelolaan air dan tanah, dan agroforesti. Sementara teransformasi artinya cara kita memproduksi, mengkonsumsi, dan distribusi hasil panen,” tandas Weleng.
Menjaga Pangan Lokal dan Merawat Kearifan Lokal
Weleng mengatakan, Nusa Tenggara Timur memiliki beragam pangan lokal, yakni padi, jagung, sorgum, jewawut, jali, dan lain-lain. “Pangan lokal ini sudah teruji mampu beradaptasi dengan kondisi iklim hari ini yang harus dikembangkan.”
“Nah, apa yang harus kita lakukan agar pangan lokal kita tetap terjaga. Pertama, pertanian berbasis kearifan lokal. Bahwa menjaga benih bukan soal makanan saja, tetapi soal penghormatan dan harapan. Kedua, pelestarian dan dokumentasi. Ketiga, perlu adanya dukungan kebijakan untuk pangan lokal oleh pemerintah,” ujarnya.
Dalam menjaga pangan lokal, kata Weleng, juga menjadi tanggung jawab komunitas-komunitas yang ada di daerah. Komunitas harus memposisikan diri sebagai pengelola dan pelestari, sebagai pelaku utama dalam produksi dan konsumsi, dan sebagai mitra kebijakan dan advokasi.
Selain mendengarkan pemaparan materi, peserta juga diberikan kesempatan untuk menceritakan kearifan lokal dan nilai yang terkandung di dalamnya, yang ada di desanya masing-masing. Berbagai harapan pun dicurahkan agar kekayaan budaya dan tradisi tetap lestari.

Yohanes Pulang dari desa Hoelea II, Lembata, menceritakan salah satu kearifan lokal yang berkaitan dengan pangan lokal di desanya, yaitu Leye (Bahasa Kedang, Lembata). Hingga kini Leye (Jali) masih dikonsumsi oleh para perempuan dari tiga suku.
“Para perempuan diwajibkan mengkonsumsi itu (Leye) seumur hidup. Tidak bisa makan beras, juga tidak bisa makan jagung,” ungkap Yohanes.
Sementara Yulius Don Lamawato, dari desa Pajinian, Flotim dengan teradisi Wu’ulolo, makan jagung saat panen perdana oleh kaum perempuan dalam satu garis keturunan. Tradisi warisan leluhur ini tetap dilaksakan hingga kini.
Lain lagi, Karli Watokola dari desa Kawalelo, Flotim membagi cerita kearifan lokal tentang larangan menebang pohon ketika musim tanam. Saat bibit atau benih sudah ditanam, tidak ada lagi masyarakat yang menebang pohon di hutan.
Ada juga cerita dari desa Tapobali, Lembata oleh Andika Kilok, yaitu ritual Belela. Namun, kata dia, “ritual ini tidak lagi dilaksanakan selama sepuluh tahun terakhir karena keterbatasan bahan baku, seperti jewawut, jali, dan sorgum.”
Tentang CSA dan Agroekologi
Pada kesempatan itu, Elisabeth Mukin, Staf Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel), hadir membawakan materi Climate Smart Agriculture (CSA) dan Agroekologi.

Elsa, sapaan Elisabeth Mukin, menjelaskan pertanian cerdas iklim (Climate Smart Agriculture) merupakan pendekatan pertanian yang menggunakan teknologi dan inovasi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan produktivitas.
“Karakteristik pertanian cerdas iklim itu penggunaan teknologi, pengelolaan sumber daya, dan pengurangan emisi gas rumah kaca melalui penggunaan praktek pertanian berkelanjutan,” imbuh dia.
Pertanian cerdas iklim, `lanjut Elsa, berkaitan dengan pertanian yang berkelanjutan, adaptif, dan berbasis komunitas. Prinsip pertanian berkelanjutan tersebut, diantaranya adaptasi, produktifitas, dan mitigasi.
“Berkaitan dengan perubahan iklim ini, kita kembali menanam tanaman-tanaman yang memang adaptif dengan lingkungan, tanah, atau curah hujan yang ada di wilayah kita masig-masing,” kata Elsa mengajak.
Lebih lanjut, dia menerangkan agroekologi merupakan prinsip memprtahankan keanekaragaman hayati dan sistem pertanian dalam membangun sistem pangan yang adil dan berkelanjutan. Di dalamnya ada prinsip efisiensi, nilai sosial budaya, dan tanggung jawab.
“Agroekologi ini juga selain untuk tanaman, juga hewan, tapi kali ini kita lebih membahas pada tanaman,” tambah Elsa.
Meski Lelah, Namun Semangat Belum Luruh
Meski para peserta terlihat sudah lelah, namun semangat mereka dalam mengikuti kegiatan ini belum luruh. Para peserta kemudian melakukan diskusi tentang praktek baik di wilayahnya masing-masing, yang dibagi dalam empat kelompok, lalu dipresentasikan kembali.

Tak sampai di situ, dalam kegiatan tersebut, Jeremias Letor, pegiat pertanian lahan kering bersama Maria Loretha, Direktur Yasores juga berkesempatan untuk membagi pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki selama bergelut sebagi petani.
Jeremias Letor tampil membagi pengetahuan tentang konservasi tanah dan air. Sementara Mama Sorgum NTT itu berbicara tentang pertanian ekologis untuk mewujudkan lumbung benih berkelanjutan.

Dalam kegiatan ini, ada beberapa rencana tindak lanjut (RTL) yang disepakati bersama. Kelompok petani muda desa Hoelea II, Omesuri, Lembata bersepakat, pada bulan Oktober 2025 akan melakukan sosialisasi di desa mereka untuk meningkatkan pemahaman petani tentang pertanian cerdas iklim.
Desa Tapobali, Wulandoni, Lembata akan melakukan pelatihan pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang akan berlangsung pada bulan Juni 2025.
Sementara Desa Pajinian, Adonara Barat, dan desa Kawalelo, Demonpagong, Flotim masing-masing berupa pelatihan irigasi tetes dan melakukan pendekatan dimulai dari keluarga dan teman yang akan dilaksanakan pada bulan Juni 2025.
Untuk diketahui, Koalisi Pangan BAIK (Beragam, Adaptif, Inklusi, Kokreasi) merupakan insiasi untuk menguatkan dan menyemangati pemuda, perempuan, petani dan masyarakat pedesaan untuk menyuarakan dampak perubahan iklim dan solusi lokal, terutama pada sistem pangan dan pertanian ekologis.
Tino Watowuan (Media Publikasi dan Dokumentasi Yasores)